Secara Historis, pasar sudah sering mengajarkan bukan saja kita perlu memilih perusahaan
yang baik, namun kita juga harus dalam kondisi siap dengan dry-powder
apabila pasar menawarkan peluang yang baik. Pasar seringkali memberi
kesempatan kepada kita untuk membeli perusahaan yang baik, dengan harga
obral. Apabila kita tidak memiliki dry-powder (extra cash yang memang
kita sisihkan), karena kita selalu fully invested setiap saat dalam
stock, bagaimana mungkin kita bisa berpartisipasi jika pasar memberikan
kita peluang yang baik itu?
Meskipun secara jangka panjang
berbagai studi menunjukan bahwa stock merupakan instrumen investasi yang
memberikan imbalan-hasil memuaskan, dia bukanlah satu-satunya instrumen
investasi. Seringkali orang menganggap menyisihkan dana dalam bentuk
kas tidak menarik, karena suku bunganya rendah. Namun apabila kita tidak
memiliki dry-powder, berupa kas yang kita sisihkan, perhatikan
bagaimana kemudian kita kehilangan kesempatan pada saat pasar menawarkan
peluang yang baik. Melalui fluktiasi perjalanan pasar modal,
mudah-mudahan konsep opportunity cost dapat kita pahami dengan lebih
baik. Bukan hanya suku bunga kecil saja yang harus selalu jadi
pertimbangan kita (dengan memegang sebagian dana dalam bentuk kas)
ketika kita melakukan alokasi dana investasi, tetapi pertimbangkan juga
kesempatan yang tidak dapat kita lakukan, karena kita tidak memiliki
dry-powder.
Tentu saja saya tidak bisa menyamakan alokasi dana investasi bagi semua lapisan investors. Tetapi apabila Anda melihat hasil survey dari CapGemini tentang alokasi assets dari Global High Net-Worth Individuals (HNWI) selama periode 2013-2017, mungkin ada hal yang bisa dipelajari.
Tidak terlalu banyak perubahan alokasi assets dalam periode itu. Apabila kita pakai angka tahun 2017, alokasi assets HNWI ini sekitar 27.3% dalam Kas dan ekivalen-nya, 31.3% dalam Stocks, 18% dalam Fixed Income (Bonds dan semacamnya), 14% dalam Real Estates (di luar rumah yang ditempatinya) dan 9.7% dalam bentuk Alternative Investments (Hedge Funds, Derivates, Start-Up/Seed Investments, Gold dst).
Barangkali untuk retail investors, asset-class seperti di atas dapat dilakukan juga. Tidak harus persis, misalnya dengan mengeluarkan Alternative Investment, dan dengan bobot persentase yang disesuaikan dengan kebutuhan. Mungkin alokasi-nya bisa Stock, Bonds, Insurance serta Kas dan ekivalennya. Dalam kasus HNWI di atas, mereka menyisihkan hampir 1/3 dana investasinya dalam bentuk kas. Ketersediaan dry-powder seperti ini memungkinkannya memanfaatkan kesempatan baik yang selalu ditawarkan pasar setiap saatnya.
lanjutan:
Apabila kita berniat untuk merancang portfolio assets dengan baik,
tentunya penting untuk mengalokasikan dana kita dalam berbagai jenis
asset-class. Bahkan saya bisa mengatakan, bahwa perhatian kita dalam
mengalokasikan dana sama pentingnya (kalau tidak lebih penting) dari
memilih perusahaan yang baik. Agar bisa selalu diingat, bahwa tujuan
pembentukan portfolio investasi adalah untuk mendapatkan imbal-hasil
optimum dalam jangka panjang. Dengan demikian, imbal hasil itu melalui
perjalanan waktu, akan semakin meningkatkan nilai kekayaan kita. Saya
tidak pernah bosan mengingatkan, bahwa keajaiban proses penggandaan (the
magic of compunding) itu hanya mungkin terjadi melalui perjalanan
waktu.
Apabila kita hanya melakukan alokasi investasi di dalam satu asset-class saja, misalnya hanya saham, perilaku pasar dalam jangka pendek bisa menihilkan upaya kita untuk mendapatkan imbal-hasil optimum. Dalam kondisi normal, upaya kita untuk mempertimbangkan korelasi (istilah smart money, beta) dari berbagai himpunan saham, bisa membantu untuk mencapai imbal-hasil optimum.
Pergerakan negatif dari satu kelompok saham bisa dinetralisir oleh pergerakan positf dari himpunan saham lain yang juga berada dalam portfolio kita (Small Cap vs Big Cap; Turnaround vs Stalwart; Cyclical vs Non-Durable Goods; High-Dividend Yield vs Growth. Bahkan jika kita juga terexpose ke bursa luar negeri, Emerging Markets vs Developed Market). Gerakan ZIG dari satu kelompok saham bisa dinetralisir oleh gerakan ZAG dari kelompok lainnya.
Namun dengan konstruksi pembentukan harga saham, dalam jangka pendek, kondisi seperti itu tidak selalu terjadi. Dalam banyak waktu, seringkali kita meilihat korelasi sempurna dari berbagai kelompok saham. Berbagai himpuan saham, yang sebenarnya memiliki karakter berbeda itu, secara berjamaah bergerak ke arah yang sama.
Dalam kondisi bull market, berbagai kelompok saham di atas harganya meningkat ramai-ramai di pasar (Humphrey Neill, yang dikenal sebagai contrarian, sudah mengingatkan kita setiap kita takjub karena harga saham yang kita beli benar-benar naik seperti "prediksi" kita: "Don't confuse brain with a bull market"). Terjadi korelasi sangat erat dari bermacam-macam himpunan saham yang karakternya mungkin sangat berlainan.
Demikian pula sebaliknya, pada saat terjadinya bear market. Bagaimanapun baiknya kinerja perusahaan, semuanya harus menyaksikan sahamnya diobral, seperti yang harus dialami oleh perusahaan berkinerja buruk. Di tahun 1998, krisis Asia memberikan kesempatan kepada para investor di Indonesia untuk bisa menjadi pemegang saham BCA, Astra, Unilever dengan hanya 2%-10% dari harganya saat ini.
Krisis di Amerika dan Eropa memberi kesempatan yang sama di tahun 2008 untuk menjadi pemegang saham Starbucks, Microsoft, Nestle, BMW, Bulgari, Louis Vuitton, Hermes serta berbagai perusahaan baik lainnya dengan harga obral. Tahun 2015, korelasi yang hampir sempurna terjadi pada emergin markets dan developed markets.
Sering terjadinya korelasi yang erat dari satu kelompok asset, menunjukan pentingnya pengalokasian dalam berbagai asset-class tersebut. Sekali lagi, tidak semua investor memiliki dana yang sama, sehingga dapat mengalokasikan dananya pada berbagai asset-class. Namun paling tidak, dengan memahami bahwa sangat mungkin terjadinya korelasi yang sama itu dari satu asset-class, maka jika orientasi kita melakukan investasi dalam saham (sebagai asset-class utama), at least kita mampu untuk menyisihkan sebagian dana itu dalam bentu kas (atau fixed-income), sebagai dry-powder. Dry-powder itu dapat kita gunakan untuk memperkecil volatilitas, maupun dimanfaatkan pada saat memberikan kita peluang yang baik.
Have a great investing!
Apabila kita hanya melakukan alokasi investasi di dalam satu asset-class saja, misalnya hanya saham, perilaku pasar dalam jangka pendek bisa menihilkan upaya kita untuk mendapatkan imbal-hasil optimum. Dalam kondisi normal, upaya kita untuk mempertimbangkan korelasi (istilah smart money, beta) dari berbagai himpunan saham, bisa membantu untuk mencapai imbal-hasil optimum.
Pergerakan negatif dari satu kelompok saham bisa dinetralisir oleh pergerakan positf dari himpunan saham lain yang juga berada dalam portfolio kita (Small Cap vs Big Cap; Turnaround vs Stalwart; Cyclical vs Non-Durable Goods; High-Dividend Yield vs Growth. Bahkan jika kita juga terexpose ke bursa luar negeri, Emerging Markets vs Developed Market). Gerakan ZIG dari satu kelompok saham bisa dinetralisir oleh gerakan ZAG dari kelompok lainnya.
Namun dengan konstruksi pembentukan harga saham, dalam jangka pendek, kondisi seperti itu tidak selalu terjadi. Dalam banyak waktu, seringkali kita meilihat korelasi sempurna dari berbagai kelompok saham. Berbagai himpuan saham, yang sebenarnya memiliki karakter berbeda itu, secara berjamaah bergerak ke arah yang sama.
Dalam kondisi bull market, berbagai kelompok saham di atas harganya meningkat ramai-ramai di pasar (Humphrey Neill, yang dikenal sebagai contrarian, sudah mengingatkan kita setiap kita takjub karena harga saham yang kita beli benar-benar naik seperti "prediksi" kita: "Don't confuse brain with a bull market"). Terjadi korelasi sangat erat dari bermacam-macam himpunan saham yang karakternya mungkin sangat berlainan.
Demikian pula sebaliknya, pada saat terjadinya bear market. Bagaimanapun baiknya kinerja perusahaan, semuanya harus menyaksikan sahamnya diobral, seperti yang harus dialami oleh perusahaan berkinerja buruk. Di tahun 1998, krisis Asia memberikan kesempatan kepada para investor di Indonesia untuk bisa menjadi pemegang saham BCA, Astra, Unilever dengan hanya 2%-10% dari harganya saat ini.
Krisis di Amerika dan Eropa memberi kesempatan yang sama di tahun 2008 untuk menjadi pemegang saham Starbucks, Microsoft, Nestle, BMW, Bulgari, Louis Vuitton, Hermes serta berbagai perusahaan baik lainnya dengan harga obral. Tahun 2015, korelasi yang hampir sempurna terjadi pada emergin markets dan developed markets.
Sering terjadinya korelasi yang erat dari satu kelompok asset, menunjukan pentingnya pengalokasian dalam berbagai asset-class tersebut. Sekali lagi, tidak semua investor memiliki dana yang sama, sehingga dapat mengalokasikan dananya pada berbagai asset-class. Namun paling tidak, dengan memahami bahwa sangat mungkin terjadinya korelasi yang sama itu dari satu asset-class, maka jika orientasi kita melakukan investasi dalam saham (sebagai asset-class utama), at least kita mampu untuk menyisihkan sebagian dana itu dalam bentu kas (atau fixed-income), sebagai dry-powder. Dry-powder itu dapat kita gunakan untuk memperkecil volatilitas, maupun dimanfaatkan pada saat memberikan kita peluang yang baik.
Have a great investing!